TANAMAN TARUPREMANA

TANAMAN TARUPREMANA

Kalau kita membaca purana-purana mengenai tanah Bali, maka kita mendapatkan gambaran tentang tanah Bali yang begitu asri. Pantai, sungai, tebing dan hutan yang demikian mempesona. Di situlah para leluhur Bali mendirikan tempat suci.
Begitu kaya alam Bali. Berbagai tanaman ada. Kekayaan alam inilah yang dipersembahkan dalam ritual keagamaan di pura. Konsep leluhur orang Bali di masa lalu adalah tempat suci di Bali harus didukung oleh alam indah dan sarana persembahyangan yang datang dari alam Bali sendiri. Kalau mau dikatakan dengan bahasa sekarang yang lebih modern, persembahkanlah hasil kekayaan alam sekitar dalam setiap pemujaan.
Sayangnya, kini manusia Bali sudah berubah, melupakan warisan leluhurnya dan sudah menyimpang jauh dari purana yang ada. Janur (busung) sudah datang dari Banyuwangi dan Situbondo, demikian pula bunga, ayam, itik dan telur. Buah bertruk-truk datang dari luar Bali termasuk dari luar negeri seperti Amerika, Cina, Thailand dan sebagainya. Sotong, juwet, belimbing, jeruk Bali, sudah kalah gengsi dengan buah peer dari Cina, apel dari Amerika dan sebagainya.

TANAMAN TARUPREMANA

Padahal, tanaman khas Bali yang dipelihara para leluhur orang Bali di masa lalu, bukan saja untuk persembahan di pura kalau ada upacara, juga untuk sarana mengobati orang sakit. Antara tanaman yang tumbuh di tanah Bali dan penyakit yang diderita orang Bali, klop. Keahlian orang Bali dalam meracik hasil-hasil alam ini memunculkan apa yang disebut dengan Usada Bali, sebuah ilmu pengobatan penyakit dari bahan alam. Memang, ilmu semacam ini bukan hanya ada di Bali, di berbagai belahan bumi juga ada. Tetapi yang pasti, ilmu ini (Usada Bali) jauh lebih cepat merosot dibandingkan yang dipraktikkan di India maupun Cina.

TANAMAN TARUPREMANA

Bahkan dunia kedokteran modern sudah mengakui keunggulan ini sehingga banyak obat-obatan dan suplemen kesehatan yang memakai racikan dari alam. Herbal, begitulah istilah populernya.
Padahal, tanaman khas Bali yang dipelihara para leluhur orang Bali di masa lalu, bukan saja untuk persembahan di pura kalau ada upacara, juga untuk sarana mengobati orang sakit. Antara tanaman yang tumbuh di tanah Bali dan penyakit yang diderita orang Bali, klop. Keahlian orang Bali dalam meracik hasil-hasil alam ini memunculkan apa yang disebut dengan Usada Bali, sebuah ilmu pengobatan penyakit dari bahan alam. Memang, ilmu semacam ini bukan hanya ada di Bali, di berbagai belahan bumi juga ada. Tetapi yang pasti, ilmu ini (Usada Bali) jauh lebih cepat merosot dibandingkan yang dipraktikkan di India maupun Cina. Bahkan dunia kedokteran modern sudah mengakui keunggulan ini sehingga banyak obat-obatan dan suplemen kesehatan yang memakai racikan dari alam. Herbal, begitulah istilah populernya. Seberapa besarkah kekayaan alam Bali yang menyimpan berbagai tanaman yang bisa dijadikan bahan obat? Syahdan, di masa lalu, Mpu Kuturan melakukan semadi di kuburan. Beliau melakukan semadi karena hampir putus asa setelah tidak berhasil mengobati orang sakit. Sebelumnya, selain mengajarkan agama dan menata kehidupan sosial orang Bali, Mpu Kuturan selalu berhasil menyembuhkan orang sakit. Kali ini tidak, untuk itulah ia melakukan semadi agar mendapatkan pawisik.
Karena laku semadinya yang kuat, pawisik diperoleh. Pohon kepuh yang ada di kuburan bertanya, ”ilmu” apa yang ingin didapatkan. Setelah Mpu Kuturan menjelaskan maksudnya, pohon kepuh berkata: ”Saya, pohon kepuh, memang tidak bisa dipakai menyembuhkan orang sakit, itu sebabnya saya lebih banyak menghuni kuburan. Tetapi, pohon-pohon yang lain, bisa dijadikan obat. Nanti pohon itu akan datang menjelaskan kegunaannya.”
Demikianlah, akhirnya satu per satu pohon datang di depan Mpu Kuturan sambil menjelaskan kegunaannya. Begitu banyak pohon yang mengandung obat, jumlahnya ada 202 buah. Kisah ini dikutip dari lontar Taru Premana yang menggunakan bahasa Jawa Kuno (Kawi). Meskipun uraian dalam lontar sering tidak logis untuk zaman modern ini, namun intisari dari apa yang ditulis lontar ini sudah tepat. Dalam terapi pengobatan Usada Bali, khasiat tanaman yang mengandung obat ini diakui kebenarannya. Bahkan, dalam brosur-brosur suplemen Herbal yang banyak datang dari luar negeri, khasiat tanaman ini jelas-jelas disebutkan.

Ironisnya adalah ”pohon obat” khas Bali itu kini juga sulit didapat. Jeruk Bali sudah menghilang dari Bali, namun dipelihara dengan baik di Sukabumi, Jawa Barat. Daun jeruk Bali ini bisa diracik dengan menambah cuka untuk mengobati penyakit reumatik. Pohon juwet sudah langka di Bali. Padahal babakan (kulit) pohon ini bisa ditumbuk halus untuk mengobati penyakit kelamin. Pohon jambu Bali (sotong), memang masih banyak ada dan orang Bali pun tahu kalau buah sotong ini bisa dijadikan obat diare. Tetapi berapa banyak yang tahu kalau daun sotong muda ini jika ditambah dengan ketumbar dan digiling halus, bisa dipakai obat jerawat?
Jika kini ada gerakan kembali memelihara tanaman obat (usada) nampaknya perlu dibarengi dengan sosialisasi, untuk obat apa saja tanaman itu. Selain melestarikan alam Bali juga meneruskan warisan leluhur di masa lalu tentang pengobatan alternatif dari alam.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *